Semangat Juang para Santri demi Merengkuh Masa Depan Bangsa

Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nur Wahid, MA sebagai pembicara kunci pada peringatan Hari Santri Nasional di gedung Nusantara V MPR RI. (Foto: MPR RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman MPR RI, Peringatan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober dilakukan di gedung Nusantara V MPR RI  dengan talk show yang diselenggarakan Majelis Pesantren dan Ma’had Dakwah Indonesia (MAPADI). Ratusan santri dari berbagai pondok pesantren di wilayah Jabodetabek membahas tema “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan”.

Tampil sebagai pembicara kunci Dr. Hidayat Nur Wahid, MA (Wakil Ketua MPR RI) dan narasumber Dr. KH Samsul Mu’arif (Ketua PWNU DKI Jakarta), Prof. Dr. KH Muhammad Asrorun Ni’am Sholeh (Ketua MUI Bidang Fatwa), KH. Drs. Sofwan Manaf (Wakil Ketua Forum Pesantren Alumni Gontor), KH Dr. Ahmad Kusyairi Suhail (Ketua IKADI).

Ketua MAPADI, KH Ayi Abdul Rosyid menyatakan peringatan hari santri merupakan bentuk penghargaan atas pengorbanan ulama dan santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, juga menjadi inspirasi untuk membangun masa depan umat dan bangsa yang lebih baik. Mapadi yang sudah berusia 15 tahun membina sekitar 50.000 santri dengan 15.000 sumber daya pengelola. Fokus program pendidikan karakter dan peningkatan kualitas santri demi menyiapkan generasi terbaik menuju Indonesia Emas 2045.

Hidayat Nur Wahid dalam paparan kunci mengungkapkan hari santri pada mulanya diusulkan tanggal 1 Muharram. “Saat itu, ada utusan yang datang kepada Joko Widodo yang baru saja terpilih sebagai Presiden RI, mengusulkan agar 1 Muharram dijadikan hari santri nasional. Saya menyampaikan bahwa tanggal 1 Muharram adalah hari besar bagi seluruh umat Islam di dunia, lebih tepat apabila tanggal 22 Oktober karena menjadi momentum perjuangan para Kiai dan santri. Tanggal 22 Oktober 1945 tercatat dikeluarkan Resolusi Jihad para ulama,” ujar Hidayat.

KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah menggelar musyawarah ulama di Surabaya atas pertanyaan Bung Karno dan Panglima Soedirman tentang apa hukumnya berjihad melawan penjajah. Jawaban para ulama tertuang dalam tiga poin Resolusi Jihad yaitu: 1) hukum melawan penjajah adalah fardlu ain (wajib bagi setiap individu warga negara), 2) siapapun yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah sebagai syahid fi sabilillah, dan 3) mereka yang membela penjajah adalah kaum munafik.

Baca Juga: Pimpinan MPR RI Apresiasi Langkah Kejagung Menangkap Hakim Ronald Tannur: Memenuhi Rasa Keadilan

Sejak dikeluarkan Resolusi Jihad itu terbentuklah Laskar Kiai, Laskar Santri, Laskar Hizbullah dan Sabilillah di berbagai daerah. “Salah seorang tokoh yang terinspirasi oleh Resolusi Jihad adalah Bung Tomo yang terkenal dengan pekik kemerdekaan: Allahu akbar sebanyak tiga kali, lalu Merdeka! Naskah Resolusi Jihad kemudian dibawa ke Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7 November 1945 dan disetujui. Hingga berkobarlah Perang Surabaya (10 November 1945). Kemudian Muhammadiyah juga mengeluarkan Amanat Jihad pada 28 Mei 1946, semoga komponen bangsa bergerak,” papar Hidayat.

Hidayat mengingatkan, apa yang harus disambungkan oleh generasi sekarang dengan sejarah para ulama dan pendiri bangsa. Perjuangan KH Hasyim secara sadar dan sukarela mengeluarkan Resolusi Jihad, tanpa tekanan dari siapapun. Dalam Mars Hari Santri juga diungkap bait tentang “NKRI harga mati”, di situ ada jasa santri, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia sempat hilang menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Para pemimpin RI (Presiden dan Wakil Presiden telah ditangkap), Republik Indonesia terancam bubar, tapi peran tokoh santri Mr. Sjafruddin Prawiranegara mendapat perintah untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Fase berikutnya, pada 3 April 1950, Ketua Fraksi Masyumi Mohammad Natsir mengajukan Mosi Integral yang menuntut pembubaran RIS dan mengembalikan status NKRI.

Semangat juang itulah yang harus terus kita sambungkan, bukan eksklusifisme atau keterbelakangan, tetapi semangat kemajuan, keterbukaan dan kemandirian. Sejak dulu para ulama dan pendiri bangsa menunjukkan kaum santri yang aktif di organisasi masyarakat dan organisai politik turut berkontribusi.

Jumlah pesantren saat ini sekitar 39.043 lembaga, naik 11.000 dibandingkan tahun 2019. Sejak ditetapkannya UU Pesentren Nomor 18 tahun 2019, perkembangan pesantren cukup pesat. Dulu sebelum UU Pesantren ditetapkan, alumni pesantren tidak leluasa untuk melanjutkan studi di luar kajian keagamaan keperguruan tinggi umum. Sekarang semua alumni pesantren tersebar di berbagai perguruan tinggi umum dan keagamaan.

Inisiator RUU Pesantren dulu adalah fraksi PKB, PPP dan PKS. Semula hanya fokus ke pesantren tradisional, namun faktanya banyak pesantren modern. Akhirnya ditetapkan tiga model pesantren: salafiyah, mualimin dan modern. Dalam revisi RUU Sistem Pendidikan Nasional pernah diusulkan untuk membonsasi pesantren hanya satu model, tapi berhasil dicegah. Hal itu harus diperhatikan bahwa sistem pendidikan perlu dijaga dari upaya untuk memperkecil peran agama.

Baca Juga: Fraksi PKB MPR Nilai Pidato Presiden Prabowo Merupakan Pengejawantahan UUD 1945

Berkaitan dengan masa depan pesantren dan peran dalam kemajuan bangsa, Hidayat menekankan urgensi diterapkannya pasal 49 ayat 1 tentang dana abadi pesantren, belum dilaksanakan dengan optimal. Dalam APBN tahun 2024, dana abadi bidang pendidikan dialokasikan Rp 25 triliun, itu sudah termasuk pendidikan umum dan agama (Rp 15 triliun). Persoalannya, berapa dana abadi khusus untuk pendidikan agama, yang bertujuan antara lain meningkatkan kualitas kinerja Kiai dan Asatidz yang unggul. Semoga kualitas santri dan alumni juga akan lebih baik.

Tanggung jawab pesantren sangat berat untuk masa kini dan masa depan, karena kondisi darurat moral (yang ditengarai Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amien), darurat kejahatan seksual (menurut KPAI), dan darurat pinjol menurut PPATK dan Kepolisian. Disamping itu, ternyata kondisi kesehatan masyarakat Indonesia masih memprihatinkan karena masih tingginya gejala stunting di kawasan Asia Tenggara termasuk juara kedua. Demikian pula, bagian dari menyambung semangat juang adalah mendukung kemerdekaan Palestina sesuai dengan amanat UUD 1945.

“Kita harus ingat bahwa salah seorang tokoh dunia Islam adalah Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’I, tokoh besar umat Islam ini lahir di Gaza. Sekarang dunia menyaksikan terjadi genosida di Gaza dan Palestina. Ketua MPR dan Presiden RI yang baru dilantik, Jenderal Prabowo Subianto menegaskan pembelaan Indonesia bagi kemerdekaan Palestina. Kita harus berupaya mewujudkannya sampai titik darah yang penghabisan,” tegas Hidayat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *