Jakarta, serayunusantara.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengecam keras keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, serta Sarwo Edhie Wibowo.
Dalam siaran pers tertanggal 10 November 2025, YLBHI menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan “cacat moral” dan “ahistoris” karena dinilai melegitimasi otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta praktik korupsi yang melekat pada rezim Orde Baru.
Menurut YLBHI, anugerah ini berisiko menjadi cara untuk “memutihkan” rekam jejak gelap sejarah Orde Baru.
Organisasi tersebut mengingatkan berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat di masa Soeharto, termasuk tragedi 1965–1966 dan pembantaian terhadap anggotanya yang dituduh PKI, serta penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme.
Dalam pernyataannya, YLBHI menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional sejatinya seharusnya mengikuti nilai-nilai moral dan keadilan, bukan menjadi alat rekonsiliasi sejarah yang menutup pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM dan korupsi.
Baca Juga: KUHAP Baru Resmi Disahkan: Aturan Hukum Acara Pidana Indonesia Masuki Babak Baru
YLBHI juga menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto menarik usulan gelar tersebut dan lebih fokus pada penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Penghargaan semacam ini seharusnya diberikan kepada tokoh yang benar-benar menunjukkan integritas dan penghormatan pada kemanusiaan,” tandas YLBHI.
Kritik senada datang dari kelompok masyarakat sipil lain. Organisasi KontraS menyebut keputusan pemberian gelar pahlawan tersebut sebagai indikasi “pemutihan impunitas” atas pelanggaran HAM masa Orde Baru.
Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa langkah tersebut justru mengingkari semangat reformasi.
Menurut Amnesty, pengakuan pahlawan tanpa menyelesaikan aspek pertanggungjawaban terhadap kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu bisa menjadi kemunduran moral dan politik negara.
YLBHI menutup rilisnya dengan seruan agar semua pihak, termasuk DPR dan masyarakat sipil, menolak konsep pemberian pengakuan pahlawan kepada tokoh yang rekam jejaknya penuh kontroversi HAM dan KKN.
“Ini bukan soal memberi penghormatan, tetapi menjaga martabat sejarah dan keadilan bagi para korban,” tulis YLBHI.
Dengan kontroversi yang semakin memanas, publik kini menanti respons resmi Presiden dan Dewan Gelar terkait kritik keras masyarakat sipil terhadap keputusan yang dianggap melemahkan nilai-nilai kemanusiaan dan reformasi ini. (Fis/Serayu)












