KemenPPPA menghadiri kegiatan “Southeast Asia Partners Roundtable on Child Early and Forced Marriage” di Bangkok, Thailand pada 27-28 November 2023 yang digelar oleh Unicef bekerjasama dengan UNFPA. (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menghadiri kegiatan “Southeast Asia Partners Roundtable on Child Early and Forced Marriage” di Bangkok, Thailand pada 27-28 November 2023 yang digelar oleh Unicef bekerjasama dengan UNFPA. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan peningkatan investasi, memperkuat kolaborasi regional dan memastikan suara dan kebutuhan anak perempuan yang terkena dampak, didengarkan dan diprioritaskan di panggung global.
Direktur Regional, Unicef Eapro, Deborah Comini menyampaikan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak dan berdampak pada jutaan orang di seluruh dunia. Berdasarkan Data Unicef 2023, diperkirakan terdapat 640 juta anak perempuan dan perempuan pernah menikah di usia anak dan 95 juta diantaranya tinggal di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Lebih lanjut Deborah mengatakan bahwa perkawinan anak mempunyai dampak yang luas terhadap individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan.Anak perempuan yang dipaksa melakukan perkawinan anak sering kali tidak mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi, sehingga melanggengkan siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan gender. Mereka menghadapi risiko lebih tinggi terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu, dan terbatasnya kewenangan mengambil keputusan. Perkawinan anak juga tidak hanya merusak kesejahteraan dan potensi anak perempuan, namun juga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi di komunitas yang terkena dampak. Menurutnya, tujuan global untuk mengakhiri perkawinan anak tidak dapat tercapai tanpa menempatkan anak perempuan dari Asia Timur dan Pasifik sebagai pusat upaya untuk diberikan perhatian dan intervensi.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan dari Unicef, kantor UNFPA, lembaga donor program global UNFPA-Unicef, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil di 8 negara yaitu Indonesia, Kamboja, Malaysia, Laos, Filipina, Bangladesh, dan Nepal, dikemukakan bahwa kehamilan remaja, kemiskinan, norma sosial dan stigma, ketidaksetaraan gender, agama, penegakan hukum yang lemah, dan kurangnya pemahaan terkait kesehatan reproduksi menjadi faktor pendorong terjadinya perkawinan anak di berbagai negara.
Baca Juga: Menteri PPPA Dorong Partisipasi Perempuan melalui Indonesia Women Leaders Forum 2023
Sementara itu, Penasihat Teknis Gender Regional, UNFPA APRO, Upala Devi menyampaikan bahwa Asia Tenggara perlu memberikan perhatian lebih besar terhadap perkawinan anak, lebih banyak investasi, lebih banyak bukti yang dibangun dan lebih banyak advokasi. Perkawinan anak yang terjadi dalam jumlah yang sangat heterogen di seluruh kawasan dapat diatasi melalui pendekatan strategis yang disesuaikan dengan konteks negara yang berbeda; penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan basis bukti; penghapusan hambatan terkait kesehatan dan pendidikan; investasi pada pendidikan anak perempuan dan kesempatan kerja; komunitas dan generasi muda memimpin advokasi dan peningkatan kesadaran; dan pendekatan yang berpusat pada remaja perempuan.
Perencana Ahli Muda pada Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Eti Sri Nurhayati menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi perkawinan anak dengan telah disahkannnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengubah batas minimal usia menikah untuk anak perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun dimana sebelumnya adalah 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.
Salain itu, adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan sanksi pidana bagi yang melanggar hukum melakukan perkawinan anak, kawin paksa atas nama praktik budaya atau kawin paksa korban dengan pelaku pemerkosaan serta mendorong daerah mengimplementasikan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak.
Pertemuan tersebut merekomendasikan pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif sebagai pintu masuk utama dalam intervensi pencegahan perkawinan anak dan pentingnya advokasi kepada para pembuat kebijakan untuk memastikannya terintegrasi; kerangka regional harus sejalan dengan kerangka nasional masing-masing negara; pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan termasuk sektor swasta dan akademisi dengan pemerintah, LSM dan anak muda; pemanfaatan kisah dan sudut pandang penyintas perkawinan anak dapat menjadi strategi yang baik untuk melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan dalam pembuatan kebijakan dan peraturan di tingkat pusat maupun daerah, serta penguatan sistem di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak terhadap kekerasan berbasis gender.
Baca Juga: Menteri PPPA Ingatkan Organisasi Perempuan Ikut Cegah Kekerasan
Menurut, Eti sebagai tindak lanjut pertemuan ini, kedepan diharapkan pendidkan kesehatan reproduksi dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum dan materi ajar baik pada pendidikan formal maupun informal. Selain itu, perlu penguatan kepada orang tua, remaja tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lingkungan terkait pengasuhan termasuk penguatan kesehatan reproduksi dan literasi digital, serta integrasi lembaga penyedia layanan keluarga untuk mencegah perkawinan anak.***