Kemendesa PDT Harus Koreksi Kebijakan yang Tampak Tergesa-gesa dan Tanpa Kajian Akademik

Oleh Mahrus Ali, Ketua GEMATI Lamongan

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) memiliki peran strategis dalam membangun dan mengembangkan desa di Indonesia. Setiap kebijakan yang dikeluarkan seharusnya berdasarkan kajian akademik yang mendalam agar efektif dan tepat sasaran.

Jika ada kebijakan yang dibuat tanpa kajian akademik yang matang, maka Kemendesa PDT perlu segera melakukan koreksi untuk memastikan dampak positif bagi masyarakat desa dan pelaksana kebijakan desa termasuk pegiat dan pendamping desa .

Kajian akademik penting karena memberikan dasar ilmiah dalam pengambilan keputusan. Dengan penelitian yang komprehensif, data yang valid, serta evaluasi yang objektif, kebijakan dapat disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.

Tanpa kajian akademik, kebijakan yang diambil berisiko tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, bahkan bisa menimbulkan masalah baru seperti ketimpangan pembangunan, alokasi anggaran yang tidak efisien, atau program yang gagal diimplementasikan.

Selain itu, transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan juga sangat penting. Kemendesa PDT sebaiknya melibatkan akademisi, praktisi, serta masyarakat desa dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih relevan dengan kondisi nyata di lapangan.

Evaluasi berkala terhadap kebijakan yang sudah berjalan juga harus dilakukan untuk memastikan efektivitasnya dan melakukan perbaikan jika diperlukan.

Oleh karena itu, jika ada keputusan atau kebijakan yang dibuat tanpa kajian akademik, Kemendesa PDT harus berani mengoreksi dan memperbaikinya. Hal ini bukan hanya untuk kepentingan pemerintah, tetapi juga demi kesejahteraan masyarakat desa yang menjadi fokus utama pembangunan di Indonesia.

Efek dari Kebijakan yang Tergesa-gesa

Kebijakan yang dibuat tanpa kajian akademik yang matang dan cenderung tergesa-gesa bisa menimbulkan berbagai dampak negatif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dampak yang pertama adalah tidak tepat sasaran, artinya kebijakan yang dibuat tanpa perencanaan matang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, program yang dihasilkan tidak efektif dan tidak memberikan manfaat maksimal bagi kelompok sasaran.

Selanjutnya yang kedua adalah Pemborosan Anggaran, artinya kebijakan tanpa kajian akademik yang komprehensif, alokasi anggaran bisa menjadi tidak tepat. Dana yang seharusnya digunakan untuk program yang benar-benar bermanfaat malah terbuang sia-sia karena kebijakan yang tidak terarah.

Dampak berikutnya adalah Ketimpangan dan Ketidakadilan Sosial, kebijakan yang tergesa-gesa sering kali tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai kelompok masyarakat.

Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan, di mana hanya kelompok tertentu yang mendapatkan manfaat, sementara kelompok lainnya terpinggirkan. Selanjutnya yang keempat Resistensi dari Masyarakat, Ketika sebuah kebijakan dibuat tanpa melibatkan masyarakat atau tanpa sosialisasi yang cukup, kemungkinan besar akan mendapatkan penolakan.

Masyarakat yang merasa kebijakan tersebut tidak relevan atau merugikan mereka bisa melakukan protes, yang pada akhirnya menghambat implementasi kebijakan itu sendiri; Kelima adalah Kerugian Ekonomi dan Sosial, Jika sebuah kebijakan berdampak buruk pada sektor ekonomi atau sosial, efeknya bisa luas.

Misalnya, kebijakan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi bisa menyebabkan hilangnya lapangan kerja, penurunan produktivitas, atau bahkan ketidakstabilan sosial; dan yang terakhir adalah kebijakan yang todak berkelanjutan.

Kebijakan yang dibuat secara terburu-buru cenderung hanya bersifat jangka pendek dan tidak memiliki landasan kuat untuk diterapkan dalam waktu lama. Akibatnya, kebijakan tersebut bisa gagal dalam jangka panjang dan harus direvisi atau bahkan dibatalkan, yang pada akhirnya membuang waktu dan sumber daya.

Kebijakan Pendirian Koperasi Desa Salah Satu Kebijakan Tergesa-gesa

Kebijakan pendirian koperasi di desa dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam banyak kasus, pendirian koperasi tanpa kajian mendalam justru berujung pada pemborosan sumber daya dan tidak memberikan manfaat nyata bagi ekonomi desa.

Seharusnya Kemendesa PDT mengoptimalkan peningkatan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang lebih efektif  sehingga menjadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi pedesaan.

Mengapa Pendirian Koperasi Desa Bisa di Anggap Sia-sia? Ada empat jawaban yang bisa dijelaskan. Yang pertama Kurangnya Manajemen dan SDM yang Kompeten di desa. Banyak koperasi di desa yang gagal karena kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan bisnis dan administrasi koperasi. Tanpa manajemen yang baik, koperasi sulit berkembang dan cenderung stagnan bahkan seringkali rugi.

Kedua Minimnya Modal dan Keanggotaan Aktif, koperasi bergantung pada partisipasi aktif anggotanya, baik dalam hal modal maupun penggunaan layanan koperasi. Jika masyarakat desa tidak memiliki minat atau kepercayaan terhadap koperasi, maka koperasi tersebut tidak akan berjalan dengan baik bahkan seringkali masyarakat menganggap pinjaman dari koperasi desa sebagai bantuan yang tidak wajib dikembalikan.

Ketiga Kurang Adaptif terhadap Kebutuhan Lokal, artinya koperasi sering kali didirikan dengan model yang sudah ada tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik di desa. Akibatnya, koperasi tidak mampu bersaing atau memenuhi kebutuhan ekonomi desa secara optimal. Yang terakhir adalah tumpang tindih dengan BUMDesa.

Banyak desa yang sudah memiliki BUMDesa, yang sebenarnya lebih fleksibel dalam mengelola usaha ekonomi dibanding koperasi. Jika koperasi dan BUMDesa berjalan secara bersamaan tanpa diferensiasi yang jelas, akan terjadi persaingan yang tidak sehat dan malah menghambat pertumbuhan ekonomi desa.

Keputusan Mem-PHK Tenaga Pendamping Desa Menimbulkan Konflik Baru

Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga pendamping desa  merupakan keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik baru di tingkat desa. Tenaga pendamping desa memiliki peran strategis dalam mengawal pembangunan desa, memastikan Dana Desa digunakan secara efektif, serta mendampingi pemerintah desa dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.

Baca Juga: Pemerintah Sebut Rencana Program Persiapan Pendidikan Dokter di Daerah 3T Bisa Berjalan

Jika PHK dilakukan tanpa kajian mendalam dan solusi yang jelas, maka dampaknya bisa cukup serius. Seperti gangguan terhadap program pembangunan desa, tenaga pendamping desa berperan dalam membantu pemerintah desa mengelola berbagai program pembangunan. Tanpa mereka, desa bisa kesulitan dalam perencanaan, pengelolaan anggaran, dan pelaksanaan program yang sudah berjalan.

Dampak negatif yang lain adalah kehilangan aksesibilitas dan pendampingan bagi masyarakat desa, terutama kelompok yang kurang terampil dalam administrasi atau usaha ekonomi, sering bergantung pada tenaga pendamping desa untuk mendapatkan bimbingan. Jika mereka diberhentikan, banyak desa bisa kehilangan akses terhadap informasi dan pendampingan teknis yang penting.

Meningkatnya pengangguran dan ketidakpastian ekonomi menjadi masalah yang sangat mengerikan dalam perjalanan bangsa dan terkesan negara tidak bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Keputusan PHK secara masif akan meningkatkan angka pengangguran di kalangan tenaga pendamping desa. Banyak dari mereka yang telah mengabdikan diri bertahun-tahun dalam mendampingi desa kini harus mencari pekerjaan baru tanpa ada kejelasan mengenai masa depan mereka. Tenaga pendamping desa memiliki jaringan yang luas dengan pemerintah desa dan masyarakat.

Jika mereka diberhentikan secara mendadak tanpa alternatif yang jelas, bisa muncul ketidakpuasan yang berujung pada protes, ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, atau bahkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah desa.

Baca Juga: Di depan Kepala Daerah se-Jatim, Mensos Gus Ipul Ajak Sukseskan Sekolah Rakyat

Dana Desa merupakan anggaran besar yang harus dikelola dengan transparan dan akuntabel. Tanpa pendamping yang memiliki pemahaman tentang regulasi dan mekanisme pengelolaan anggaran desa, ada risiko meningkatnya penyimpangan atau ketidakefisienan dalam penggunaannya.

Jika pemerintah memutuskan untuk mengurangi jumlah tenaga pendamping desa, seharusnya ada langkah-langkah mitigasi untuk menghindari konflik, seperti:  Evaluasi dan Penyesuaian Bertahap, jangan lakukan PHK secara mendadak, tetapi lakukan evaluasi berbasis kinerja dan kebutuhan riil pada setiap individu pendamping desa.

Jika memang jumlah tenaga pendamping desa perlu dikurangi, sebaiknya mereka diberikan peluang untuk beralih ke program lain, misalnya di BUMDesa atau sektor pembangunan desa lainnya. Pemerintah harus menjelaskan secara terbuka alasan di balik PHK ini dan memberikan solusi bagi mereka yang terdampak agar tidak menimbulkan keresahan yang akan mengakibatkan kerugian bagi kementrian itu sendiri. (serayu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *