KemenPPPA Kecam Kasus Pelecehan Seksual oleh Kepsek dan Guru Madrasah di Wonogiri

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Kepala Sekolah (M) dan Guru Madrasah (Y) terhadap siswi di Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Hasil koordinasi KemenPPPA melalui Tim Layanan SAPA UPTD PPA Jawa Tengah dan DPPKBP3A Kabupaten Wonogiri saat ini ada 12 siswi korban yang mengaku mengalami pelecehan.

“Proses hukum sudah pada tahap penyidikan, namun pelaku saat ini masih belum ditahan. Pelaku telah di non-aktifkan sebagai kepala sekolah dan guru,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar (1/6).

Sebelumnya, Jumat 26 Mei 2023 Tim PPA Kecamatan Baturetno menerima laporan dari Kepala Desa Talunombo bahwa telah terjadi kasus pelecehan seksual yang dialami siswi Madrasah di Baturetno. Tim PPA kemudian melakukan pendampingan ke rumah korban dan mendatangi rumah ketua komite sekolah untuk menggali informasi. Laporan awal 4 anak yang mengalami pelecehan seksual, namun setelah dilakukan investigasi bertambah menjadi 12 anak.

“P2TP2A Kabupaten Wonogiri telah mendampingi korban untuk pelaporan dan melakukan visum. Selanjutnya, P2TP2A Kabupaten Wonogiri akan merujukkan untuk pemulihan psikis korban ke rumah sakit,” terang Nahar.

Baca Juga: Desakan Puan Soal Penerbitan Aturan Teknis UU TPKS Perlu Segera Direspons Pemerintah

Berdasarkan keterangan yang diperoleh Tim KemenPPPA, jenis pelecehan seksual dan waktu yang dilakukan kedua pelaku melakukan aksinya bervariasi, mulai dari memegang hingga memasukkan jari ke area sensitif korban. Semua aksi para pelaku dilakukan di lingkungan sekolah (ruang kelas dan ruang guru).

“Para korban mengalami trauma atas pencabulan yang dilakukan oleh pelaku. Rencananya korban akan mendapatkan pendampingan psikologis. Tim KemenPPPA akan berkoordinasi dengan P2TP2A Kabupaten Wonogiri untuk memastikan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan dan terus memantau proses hukum agar berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku,” jelas Nahar.

Perbuatan kedua pelaku yang telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak melanggar pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sesuai Pasal 82 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua pelaku dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari hukuman karena merupakan pendidik dan tenaga kependidikan, selain itu juga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang sesuai Pasal 82 Ayat (2) dan (4) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Baca Juga: Kuatnya Dorongan Puan Soal Aturan Teknis UU TPKS di Tengah Maraknya Kasus Kekerasan Seksual

Nahar menuturkan adanya relasi hubungan pelaku yang memiliki power atau kekuatan dan kekuasaan yang lebih dibanding korban membuat pelaku dapat membujuk atau mengancam korban untuk melakukan perbuatan tersebut. Bagi korban adanya pengalaman trauma yang dialami akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan anak terhadap orang  dewasa,  trauma  secara  seksual, merasa  tidak  berdaya, dan ketakutan terhadap stigma negatif.

“Ini tentu sangat buruk bagi tumbuh kembang anak. KemenPPPA terus menghimbau agar pengawasan dari orangtua dan lingkungan sekitar lebih diperkuat untuk menyediakan lingkungan tempat belajar anak yang aman dan nyaman,” tegas Nahar.

Nahar juga mengajak siapa saja yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami kekerasan untuk dapat melaporkan kasusnya melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08111 129 129.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *