Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) akan memastikan pelaksanaan pendampingan dan proses hukum bagi anak perempuan korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh terduga pelaku yang merupakan Pembina Yayasan, HS (46) di Pontianak, Kalimantan Barat. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, menegaskan pihaknya akan terus mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memproses kasus tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam kepada korban dan keluarga atas kekerasan seksual yang dialami oleh korban. Kejadian tersebut harus menjadi pengingat kita bersama bahwa dimana pun anak berada, anak-anak rawan mendapatkan kekerasan seksual,” ujar Nahar dalam keterangannya, Rabu (09/08).
Berdasarkan informasi yang didapatkan Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, Nahar menuturkan pada Juli 2022, korban dibawa oleh pelaku ke sebuah hotel seusai pulang dari perjalanan luar kota. Saat itu, korban tidak dapat menolak dan merasa takut jika akan terjadi masalah di sekolah karena pelaku merupakan pembina yayasan. Dari situlah, pelaku terus melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada korban hingga akhirnya hamil. Mendapati korban hamil, pelaku enggan bertanggung jawab karena merasa bahwa anak yang ada di dalam kandungan korban bukanlah anaknya dan mendesak korban untuk melakukan aborsi. Dalam keadaan terdesak dan bingung, korban akhirnya mengikuti ajakan pelaku untuk melakukan aborsi dan korban dibawa ke sebuah salon di Jakarta pada Oktober 2022 silam. Setelah itu, pelaku kembali membawanya ke hotel dan melakukan persetubuhan kepada korban. Kejadian ini perlu dipastikan melalui proses penyidikan, dan jika berkas perkaranya telah lengkap agar dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
Nahar menjelaskan, awal mula kasus tindak pidana kekerasan seksual tersebut terungkap ketika orang tua korban melihat tingkah laku dan gelagat korban yang mencurigakan. Orang tua korban akhirnya bertanya kepada korban dan korban mengakui kejadian yang telah menimpanya. Dari pengakuan korban itulah, orang tua korban melaporkannya ke Polresta Pontianak.
Baca Juga: Harteknas 2023, Menteri PPPA Gaungkan Kepemimpinan Perempuan
“Tim SAPA 129 dan Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Kalimantan Barat telah berkoordinasi dengan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kota Pontianak dan bergerak cepat untuk melakukan penanganan dan pendampingan kepada korban. Saat ini, korban telah mendapatkan perlindungan dan pendampingan dari LPSK dan ditempatkan di rumah aman. Kasus ini pun masih dalam pendalaman proses hukum karena pelaku juga pernah menjabat sebagai anggota legislatif Kalimantan Barat,” tutur Nahar.
Dalam proses penanganan dan pendampingan korban, UPTD PPA Provinsi Kalimantan Barat bersama DP2KBP3A Kota Pontianak perlu melakukan medical check-up kepada korban secara menyeluruh karena sebelumnya korban diduga pernah dipaksa melakukan proses aborsi. Nahar pun menegaskan, korban perlu mendapatkan pemeriksaan dan penanganan psikologis lebih lanjut terkait kondisi mental paska kejadian.
“Selain itu, orang tua pun harus lebih proaktif dalam membimbing dan memantau anak dalam lingkungan pergaulannya secara langsung maupun di media sosial. Tidak hanya itu, perlu adanya edukasi yang lebih komprehensif kepada lingkungan sekitar anak termasuk di dalamnya keluarga, sekolah, dan teman pergaulan, serta masyarakat sekitar untuk berani melaporkan apabila adanya kasus kekerasan terhadap anak,” jelas Nahar.
Atas kejahatan tersebut, selanjutnya jika perbuatan pelaku memenuhi unsur pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka sesuai pasal 81 Ayat (1), ayat (3), dan Ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Baca Juga: Dorong Implementasi UU TPKS, KemenPPPA Tingkatkan Koordinasi APH dalam Penanganan Kasus Kekerasan
Untuk kasus dugaan aborsinya, jika memenuhi unsur pidana Pasal 45A jo Pasal 77A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka terancam pidana penjara 10 tahun dengan denda Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar). Sanksi pidana terkait aborsi ini juga sama diatur dalam pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Proses hukum terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini juga perlu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan tidak diselesaikan di luar proses peradilan karena hal tersebut sangat tidak adil bagi korban,” tandas Nahar.
Dalam upaya penanganan dan pendampingan korban yang berkelanjutan, Tim SAPA 129 Kemen PPPA anak terus berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Kalimantan Barat untuk memastikan korban mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Tim SAPA 129 Kemen PPPA pun akan terus memantau proses hukum terhadap pelaku agar korban mendapatkan perlindungan dan keadilan yang sesuai.
Dalam kesempatan tersebut, Nahar menegaskan Kemen PPPA mengutuk segala bentuk perbuatan tindak kekerasan seksual yang menimbulkan dampak kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Nahar mengimbau agar masyarakat segera melapor kepada pihak berwajib jika mendapatkan atau menemui kasus kekerasan seksual yang melibatkan perempuan dan anak di sekitarnya.***