Dorong Implementasi UU TPKS, KemenPPPA Tingkatkan Koordinasi APH dalam Penanganan Kasus Kekerasan

Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. (Foto: KemenPPPA RI)

Tangerang, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menguatkan mandat penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi dan internasional melalui upaya penguatan antar lembaga yang melibatkan aparat penegak hukum diantaranya kepolisian dan kejaksaan. Sekretaris Kementerian, Pribudiarta Nur Sitepu mendorong implementasi UU TPKS dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban dapat dimaksimalkan oleh APH.

“Kementerian PPPA mendapat mandat tambahan melalui tugas dan fungsi penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional, serta penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional melalui Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Dengan tingginya angka dan pelaporan kasus kekerasan, kita perlu juga memperkuat sinergitas dan kolaborasi penanganan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan baik melalui tim terpadu yang selama ini sudah berjalan dengan melibatkan Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Ahli Pidana termasuk koordinasi dengan para APH,” tutur Pribudiarta pada Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan.

Hotline SAPA 129 pada tahun 2021 mencatat 1.010 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk, sementara di tahun 2022 terjadi kenaikan yang signifikan aduan menjadi 2.346 kasus, dan di tahun 2023 pada bulan Januari – Juli sudah diterima aduan sebanyak 949 kasus.

“Berbagai data ini patut menjadi perhatian yang serius bagi kita semua. Apalagi, angka-angka ini hanyalah angka laporan, artinya di lapangan jumlah kasus yang terjadi jauh lebih banyak. Kasus kekerasan ini seperti fenomena gunung es yang kelihatan kecil di permukaan karena alasan malu, tabu, bahkan dipengaruhi faktor kepastian hukum yang belum jelas dan menyebabkan banyak perempuan yang tidak melaporkan kasus yang menimpa mereka. Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tentunya menjadi perhatian kita bersama, sehingga ketika para perangkat penegak hukum harus benar-benar dapat mengakomodir keadilan dan pemulihan bagi korban, serta memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku menggunakan instrumen hukum yang tepat bersifat lex specialis yakni UU TPKS,” tutur Pribudiarta.

Baca Juga: Berkarya Melalui Wastra Nusantara, Harumkan Nama Bangsa Indonesia

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati menyampaikan bahwa UU TPKS telah mengatur mandat pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak di Indonesia sesuai dengan peran yang diembannya masing-masing. Untuk mendukung hal tersebut, peraturan turunan berupa Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah tengah diupayakan dan terus didorong agar pengesahannya dapat dipercepat sehingga bisa menjadi acuan bagi para penegak hukum di garda terdepan.

“Pada kesempatan ini saya mengajak Bapak/Ibu sekalian yang hadir untuk memperkuat sistem dari hulu sampai ke hilir. Pada proses hukum mulai dari lidik sidik, penuntutan, sampai dengan proses peradilan pidana yang komprehensif kepada korban bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu, akomodasi yang layak dalam penanganan perkara yang aksesibel dan inklusif bagi penyandang disabilitas dan penegakan hukum kepada para pelaku juga perlu kita upayakan,” tutur Ratna.

KemenPPPA sebagai koordinator dari penyelenggaraan pelayanan terpadu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akan senantiasa mengupayakan kerja-kerja kolaborasi antar pemerintah dan aparat penegak hukum di tingkat pusat hingga implementasinya ke daerah.

“Agar peraturan pelaksana UU TPKS dapat diimplementasikan dengan efektif, kami berharap kepada rekan-rekan APH dari 11 provinsi yang hadir bisa menyiapkan infrastruktur, sumber daya manusia dan pemahaman yang komprehensif. Agar ketika peraturan turunan tersebut disahkan, maka sistem yang ada di daerah masing-masing siap untuk mengakomodir kebutuhan korban,” tutur Ratna.

Baca Juga: Menteri PPPA Dukung Peningkatan Pemberdayaan Perempuan di Bali melalui Sektor Pariwisata

Ketua Harian Kompolnas, Benny Mamoto mendorong efektivitas kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian dalam merespon aduan masyarakat secara cepat dan responsif. Dalam menangani aduan dan keluhan dari masyarakat, penting bagi APH untuk memperhatikan dua faktor yakni menjalin komunikasi yang baik dan transparan dalam memberikan informasi terhadap masyarakat yang melaporkan aduan.

“Dalam menangani aduan masyarakat khususnya kasus kekerasan seksual, APH butuh memperhatikan perspektif korban dan keluarga yang perasaannya juga sangat sensitif. APH harus sabar, ramah, menggunakan bahasa yang tepat dan berempati terhadap korban dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan anak. Oleh karenanya, SDM yang berperspektif gender dan anak menjadi penting, terlebih saat ini Direktorat PPA dan TPPO juga sedang dipersiapkan,” tutur Benny.

Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Robert Sitinjak mendorong APH mulai dari penyidik hingga jaksa untuk menggunakan UU TPKS dalam proses penuntutan sebagai undang-undang lex specialis terhadap kasus kekerasan dan memiliki perspektif korban.

“UU TPKS sebagai undang-undang yang bersifat lex specialis mengesampingkan peraturan yang lebih umum, sehingga dalam proses penuntutannya, APH perlu mengedepankan peraturan tersebut. Sebagai undang-undang yang bersifat khusus terkait kasus kekerasan seksual, UU TPKS juga fleksibel terhadap jenis-jenis kekerasan di masa mendatang, jadi nanti jika ada jenis kekerasan baru yang belum ada saat ini maka undang-undang ini bisa mengakomodir,” ujar Robert.

Baca Juga: Mendapat Predikat Nindya, Lamongan Hentikan Eksploitasi Anak

Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Nirwana menyampaikan UU TPKS sangat mengakomodir kebutuhan korban kekerasan dalam mengakses keadilan mulai dari kewajiban restitusi bagi pelaku terhadap korban, mengedepankan keadilan di muka hukum atau bukan menyelesaikan penyelesaian perkara di luar hukum yang kerap merugikan korban, hingga memanfaatkan peran saksi ahli untuk memvalidasi pengalaman korban yang kerap mengalami tindak kekerasan di ruang tertutup dan minim saksi

Nirwana berharap APH terutama penyidik yang menjadi garda terdepan dalam merespon aduan korban dapat benar-benar memanfaatkan implementasi UU TPKS yakni dengan memberikan edukasi terhadap hak-hak apa saja yang didapat oleh korban dan menggunakan perspektif korban selama mengawal kasus tersebut.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *