Perempuan Pilih Perempuan, Bantu Ubah Stigma Perempuan Di Politik

Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu dalam Bincang Media, Jumat (20/10). (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kepemimpinan perempuan esensial bagi kesejahteraan bangsa, sehingga harus terus didorong dan digelorakan agar menjadi persepsi baru di masyarakat. Hal ini dikemukakan Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu dalam Bincang Media, Jumat (20/10). Menurut Titi, kunci utama agar keterwakilan perempuan dan kepemimpian Perempuan terutama dalam politik dapat tercapai maka sesama perempuan harus saling mendukung.

“Kuncinya antar sesama perempuan harus terus saling mendukung, memotivasi dan menginspirasi. Perempuan harus berani. Jangka panjangnya bukan hanya angka terpenuhinya kuota 30% tetapi munculnya kebijakan-kebijakan dan program yang berprespektif gender,” tutur Staf Ahli Menteri PPPA, Titi Eko.

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam hal ini memiliki perhatian terhadap peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Menurut Titi, sudah sepatutnya ruang partisipasi dan representasi politik perempuan harus terfasilitasi dengan baik sebab sistem politik demokrasi Indonesia menuntut adanya kehadiran sistem perwakilan yang mewakili semua kelompok salah satunya dari segi gender. Selain itu Indonesia juga telah ikut menekan komitmen mendukung target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs dan kampanye dunia planet 50:50 atau gender equality.

“Melihat keterwakilan perempuan di parlemen pada tingkat ASEAN, Indonesia ada di posisi 6 dibanding negara-negara lain di ASEAN. Secara nasional, proporsi keterwakilan perempuan menurut data BPS Tahun 2023 adalah 21,74 %, ada kenaikan dibanding data sebelumnya. Namun sayangnya masih ada 26 provinsi yang angka keterwakilannya masih di bawah angka nasional. Yang menggembirakan di DPD RI, dari data yang diolah KemenPPPA keterwakilan perempuan tahun 2019 sudah memenuhi kuota di angka 30,14%,” tutur Titi.

Baca Juga: Wujudkan Provinsi Layak Anak, Menteri PPPA Dorong Pemenuhan Hak Informasi dan Partisipasi Anak

Terkait kuota keterwakilan perempuan telah diatur dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 55 menegaskan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Selain itu pada tingkat kepengurusan partai politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pada Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan pendirian dan pembentukan Partai Politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Didukung aturan bahwa kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (Pasal 2 Ayat 5 dan Pasal 20).

“Representasi perempuan dalam politik masih jauh dari cukup untuk memperjuangkan dan mengangkat isu perempuan. Tentu perlu ada upaya meningkatkan representasi. Satu sisi, ada hambatan bagi perempuan dalam peran politiknya, yaitu pada hambatan kultur sosial dan masyarkat, psikologis, dan juga masih ada hambatan ekonomi,”

Menurut Titi alasan penting perempuan terlibat dalam politik dan pengambil keputusan diantaranya karena jumlah penduduk perempuan hampir 50 persen, perempuan dan laki-laki memiliki hak sama termasuk dalam politik, serta perempuan berhak memperjuangkan haknya.

“Perempuan berhak berperan dalam mengambil keputusan yang menyangkut dirinya, karena perempuan-lah yang mengetahui permasalahannya, kebutuhan, dan solusi atas persoalan yang dihadapi. Apalagi di era digital, perempuan memiliki kualitas dan kemampuan yang sama dengan laki-laki dan ini bisa dibuktikan,” tambah Titi.

Baca Juga: Kolaborasi KemenPPPA dan UNICEF Melatihkan Panduan Praktis Stranas PPA di Provinsi Jawa Timur

KemenPPPA tentu harus terus memastikan bahwa proses politik ini responsif gender, artinya proses politik harus partisipatif dan inklusif terhadap perempuan dan laki-laki, baik dari perumusan, penetapan kebijakan maupun pelaksanaanya dilaksanakan secara demokratis. Proses politik yang mengintegrasikan isu-isu gender, keterlibatan semua kelompok termasuk perempuan.

“Selain terus mengadvokasi dan sosialisasi PUG dalam politik, KemenPPPA juga melakukan berbagai upaya, diantaranya bimbingan teknis kepemimpinan perempuan pedesaan, dan bekerjasama dengan lembaga masyarakat termasuk Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) untuk meningkatkan kapasitas, memperluas pemahaman dan juga meningkatkan keterampilan politiknya agar perempuan yang nanti duduk di parlemen mampu melahirkan kebijakan yang lebih responsif, inklusif, dan humanis,” jelas Titi.

Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Lis Dedeh menuturkan peluang terpilihnya calon legislatif perempuan dalam pemilu menyangkut dengan partisipasi pemilih, penyelenggara pemilu, peran partai politik yang masih patuh pada Undang-Undang Pemilu tahun 2017, kelompok perempuan peserta pemilu, dan kelompok masyarakat sipil.

“Tantangan budaya menjadi salah satu yang paling besar. Masih ada budaya patriarki, politik yang maskulin bahwa laki-laki lebih dari perempuan itu terjadi di daerah-daerah terutama yang kental dengan adat istiadat atau agama. Butuh strategi khusus untuk menghadapi tantangan-tantangan yang bagi perempuan di politik termasuk soal kepercayaan perempuan pada potensi dan kemampuan perempuan di politik,” tutur Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Lis Dedeh.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *