Wamen PPPA: Ruang Bersama Indonesia, Ruang Edukasi untuk Berani Bersuara

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan mengatakan Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang diluncurkan Kemen PPPA pada 22 Desember silam dapat menjadi ruang edukasi bagi perempuan dan anak, termasuk mendorong keberanian untuk bersuara apabila mengetahui atau mengalami terjadinya kekerasan.

“Kemen PPPA sudah meluncurkan Ruang Bersama Indonesia yang diharapkan dapat menjadi sebuah wadah. Pemerintah menyediakan wadah atau platform untuk ruang kebersamaan, gotong-royong, edukasi, dan berkegiatan. Kami mengharapkan kerja samanya, kita bahu-membahu, bergotong-royong, dan bekerja sama dalam mengedukasi perempuan untuk bisa berkata “tidak” ketika hak mereka terenggut,” ujar Wamen PPPA dalam Seminar Nasional “Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP)/Sunat Perempuan dan Perkawinan Anak”, di Jakarta.

Lebih lanjut, Wamen PPPA menegaskan selain menyediakan Ruang Bersama Indonesia sebagai wujud gerakan masyarakat, Pemerintah Indonesia juga memiliki berbagai payung hukum untuk memperkuat upaya perlindungan perempuan dan anak, seperti Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meski begitu, Wamen PPPA menggarisbawahi mengenai pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menjalankan regulasi yang telah disahkan oleh pemerintah.

“Perlu dilakukan kolaborasi, sinergi, dan gerakan bersama antara pemerintah, lembaga masyarakat, perempuan parlemen, media, tokoh lintas agama, dan lain sebagainya,” imbuh Wamen PPPA.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Agama, Nasaruddin Umar mengimbau masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, salah satunya melalui pencegahan P2GP atau sunat perempuan. Pasalnya, menurut Menteri Agama, tidak terdapat hadist yang secara tegas mewajibkan sunat terhadap perempuan.

Baca Juga: Wamen PPPA Dorong Kolaborasi untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak

“Saya ingin mengingatkan sekaligus mengimbau pandangan-pandangan untuk memberdayakan perempuan, termasuk mencegah terjadinya penderitaan abadi terhadap perempuan dalam bentuk P2GP harus dilakukan. Mari bersama-sama kita berhenti menganiaya perempuan, berhenti menyiksa perempuan dengan melakukan sunat atas nama agama karena agama tidak mewajibkan perempuan untuk disunat. Apa pun yang menyebabkan tersiksanya perempuan harus ditinggalkan,”  kata Menteri Agama.

Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Wahid mengatakan pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk menuntaskan isu P2GP atau sunat perempuan di Indonesia. Pada pertengahan 2024, Yayasan Puan Amal Hayati bersama United Nations Population Fund (UNFPA) melakukan kajian kritis melalui berbagai sumber, seperti Al-quran dan hadist, pendapat para ulama, dan penelitian terdahulu.

“Alhamdulillah hasil kajian kritis yang kami lakukan ternyata dapat menggelitik pemerintah sehingga menurunkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang isinya adalah pelarangan untuk melakukan sunat perempuan. Suatu prestasi yang sangat membahagiakan mengingat bahayanya sunat perempuan bagi anak-anak perempuan kita yang nantinya juga akan menjadi ibu kita semua,” tutur Sinta.

Namun demikian, menurut Sinta, meski pemerintah sudah memiliki hukum yang mengatur mengenai pelarangan sunat perempuan, masih terdapat berbagai hambatan dalam melindungi anak-anak perempuan dari budaya tersebut, terutama di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, Sinta berharap adanya sinergi seluruh pihak untuk terus bergerak dalam upaya melindungi perempuan dan anak dari budaya P2GP atau sunat perempuan.

“Kami melakukan survei dan sosialisasi untuk mendapatkan gambaran penerimaan masyarakat terhadap tindakan sunat perempuan. Berdasarkan hasil survei dan sosialisasi tersebut, kami mendapatkan sunat perempuan banyak dilakukan oleh bidan, perawat, dan paramedis sebanyak 45,8 persen dan yang dilakukan oleh dukun bayi sebanyak 27,7 persen. Ini menunjukkan usaha kita untuk mengentaskan sunat perempuan masih membentur batu karang. Sumbangan pikiran Bapak dan Ibu sekalian akan menjadi masukan yang berharga untuk memperkecil angka P2GP atau sunat perempuan,” pungkas Sinta.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *