Menteri PPPA, Bintang Puspayoga hari ini membuka secara resmi Acara ASEAN Regional Dialogue on Child Online Protection 2023. (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga hari ini membuka secara resmi Acara ASEAN Regional Dialogue on Child Online Protection 2023 yang mengangkat tema “Racing against the clock: Pushing forward with Child Online Protection in the ASEAN Region” Consolidating of Regional Cooperation under the Indonesia ASEAN Chairmanship 2023. Pertemuan ini berfokus pada bagaimana proteksi masa depan anak – anak yang merupakan aset penting di kawasan ASEAN, khususnya dari bahaya teknologi yang berkembang semakin pesat.
“Teknologi digital telah memberikan kita banyak kemudahan, kenyamanan, dan keuntungan. Namun, kita harus menyadari bahwa teknologi juga membawa bahaya. Oleh karena itu, di masa perubahan yang cepat ini, kita harus memastikan bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat maksimal dari teknologi digital namun tetap aman dari bahayanya,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA menambahkan bahwa dalam menghadapi risiko online yang luas, ekspansif, dan agresif terhadap anak-anak, pemerintah Negara-Negara Anggota ASEAN telah meresmikan komitmen mereka untuk memerangi eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak secara online dalam Deklarasi Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Eksploitasi dan Pelecehan Online di ASEAN dan Rencana Aksi Regional untuk Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Eksploitasi dan Pelecehan Online di ASEAN. Selain itu, beberapa Negara Anggota ASEAN juga telah memiliki kebijakan yang penting dalam upaya perlindungan anak.
“Di tingkat nasional, Pemerintah Indonesia juga telah lama meratifikasi Konvensi Hak Anak dan berkomitmen penuh untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak, termasuk hak untuk berpartisipasi. Untuk menjamin hak tersebut, KemenPPPA telah membentuk Forum Anak di seluruh tingkat pemerintahan. Pemerintah Indonesia juga meningkatkan pengawasan untuk memastikan ruang online yang aman bagi anak-anak. Selain itu, juga terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi dan ragam kejahatan berbasis internet secara sistematis dengan melibatkan orang tua, keluarga, guru sekolah, pengasuh, komunitas, penyedia layanan sosial, dan penegak hukum,” tutur Menteri PPPA.
Menteri PPPA kemudian mengatakan bahwa tujuan diselenggarakannya acara ini diantaranya untuk memberikan kesempatan bagi Negara-Negara Anggota ASEAN untuk mengkaji upaya nasional dan regional mereka, mengidentifikasi dan menjalin kerja sama, dan mengedepankan komitmen dari pihak berwenang, industri, dan pemangku kepentingan untuk melindungi anak-anak secara online.
Selain itu, juga untuk merumuskan masukan substantif yang inklusif untuk pengambilan keputusan kebijakan ASEAN, menetapkan arah bagi inisiatif perlindungan online anak selama Keketuaan Indonesia pada tahun 2023, dan untuk keketuaan ASEAN berikutnya.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Komisi VIII DPR RI, M. Ashabul Kahfi mengatakan bahwa pada masa ini dimana dunia semakin terhubung melalui teknologi digital, para pemimpin dan warga negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan anak-anak di ranah online. Ashabul juga menuturkan bahwa sekitar 60% anak-anak yang menggunakan internet terpapar berbagai risiko termasuk perundungan cyber, ancaman keamanan, dan terpapar konten yang tidak pantas. Faktor-faktor seperti meningkatnya penggunaan internet, kurangnya pemahaman anak-anak tentang bahaya di dunia maya dan kurangnya regulasi yang melindungi anak-anak semakin mempengaruhi situasi ini.
“Perlindungan anak di dunia digital haruslah menjadi prioritas utama. Perlu adanya peningkatan pengawasan konten internet yang tidak pantas bagi anak-anak, peningkatan kesadaran akan berbagai resikonya, dan peningkatan kemampuan penyelidikan kejahatan berbasis internet. Regulasi yang melindungi privasi dan data pribadi anak-anak juga harus diimplementasikan,” ujar Ashabul.
Baca Juga: Menteri PPPA Sambut Positif GPIB Deklarasi Gereja Ramah Anak
Ashabul kemudian menekankan perlunya implementasi rencana aksi regional terkait perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi dan pelecehan online tahun 2021 – 2025 yang telah disepakati. Menurutnya, implementasi ini harus menjadi prioritas untuk melindungi generasi masa depan di kawasan ASEAN.
Sementara itu, Deputy Secretary-General (DSG) of ASEAN for Socio-Cultural Community (ASCC), H.E. Ekkaphab Phanthavong mengatakan bahwa ASEAN menyadari akan banyaknya risiko yang dihadapi anak-anak saat mengakses dunia maya, yang menjadikan mereka rentan dan berisiko tinggi terhadap pelecehan dan eksploitasi. Pada tahun 2022, UNICEF juga telah melaporkan bahwa hingga 20 persen anak-anak berusia 12 hingga 17 tahun diidentifikasi sebagai korban eksploitasi dan pelecehan online.
“Oleh sebab itu, kebutuhan untuk meningkatkan pemahaman dan komitmen terhadap tindakan yang efektif untuk mencegah eksploitasi dan pelecehan online terhadap anak merupakan tanggung jawab yang mendesak dan kolektif di ASEAN,” tutur Ekkaphab.
Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD) Chair, Chua Choon Hwa memaparkan beberapa kebijakan dan pedoman di ASEAN yang terkait dengan eksploitasi dan kekerasan anak-anak di ranah daring, seperti pedoman ASEAN untuk mengadakan layanan yang memberikan perlindungan bagi anak-anak dalam ranah hukum, dan juga pengadaan layanan serta dukungan sistem untuk anak-anak yang berurusan dengan hukum dalam kaitannya dengan kekerasan dan eksploitasi seksual di ranah daring. Selain itu, juga meningkatkan peran dari pekerja sosial dan yang bekerja di sektor hukum. Kemudian, telah ada dialog lintas negara yang melibatkan negara-negara ASEAN untuk membahas mengenai kasus-kasus terkait dengan kekerasan dan eksploitasi anak, yang diadakan di Bangkok, Thailand.
Baca Juga: KemenPPPA dan Kemenag Cetak Fasilitator Nasional Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren
“Perlindungan anak di ranah daring, bukan hanya sebuah isu, tetapi juga merupakan kewajiban moral untuk memastikan bahwa anak-anak kita dapat menjelajahi dunia online dengan cepat, tanpa menghadapi rasa takut, ancaman bahaya, atau eksploitasi. Perlindungan anak di ranah daring juga merupakan upaya menjaga diri dari kesalahan, memupuk potensi mereka, serta memberdayakan mereka untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Di kawasan ASEAN, kami menyadari bahwa kami tidak dapat mengatasi masalah ini secara sendirian, sifat dunia digital yang saling terhubung menuntut kolaborasi, kerja sama, dan kesatuan dari kita semua untuk menghadapi risiko ini bersama-sama dalam upaya kolektif untuk menentukan keberhasilan kita dalam hal perlindungan anak ini,” tuturnya.
Pada kesempatan ini, turut hadir Australian Deputy Ambassador to ASEAN, Caroline Scott, The United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia Representative, Maniza Zaman, dan The ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) Chair, Yanti Kusumawardhani, untuk memberikan sambutan terkait perlindungan anak di ranah online.
Dalam acara ini, terdapat 4 (empat) sesi diskusi yang akan dilangsungkan secara hybrid pada 26 – 27 September 2023, terkait hak-hak anak dalam lingkungan digital, perkembangan mengenai perlindungan online anak di tingkat Negara dan regional, praktik baik kebijakan dan strategi nasional, dan berbagi peran organisasi internasional dan organisasi masyarakat sipil dalam mendukung implementasi perlindungan online anak.***