Jakarta, serayunusantara.com – Merespons keputusan DPR yang secara resmi menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:
“Langkah DPR gegabah. Penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah pada dasarnya sudah bermasalah. Kami melihat penerbitan Perppu ini tidak mengandung unsur kedaruratan sebagaimana klaim pemerintah. Dengan penerbitan dan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, Pemerintah dan DPR dapat dianggap tidak menghargai dan mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021.
Apalagi, Perppu Cipta Kerja mendapatkan penolakan secara luas oleh berbagai kalangan masyarakat, mengingat luasnya dampak Perppu ini terhadap berbagai lini kehidupan. Dalam situasi ini DPR harusnya lebih berhati-hati dalam menyikapi Perppu Cipta Kerja dan tidak gegabah maupun terburu-buru dalam melakukan pengesahan.
DPR sebagai wakil rakyat seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat, bukan terang-terangan mengabaikannya.”
Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang dilakukan tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat jelas merenggut hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam urusan publik, seperti yang telah tertulis dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
Dalam Penjelasan Umum UU nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga ditegaskan bahwa proses pembentukan aturan perundang-undangan harus dilakukan dengan partisipasi bermakna, yang mensyaratkan adanya hak warga untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Latar Belakang
DPR, dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di Senayan pada Selasa, 21 Maret 2023 secara resmi menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Gagasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pertama kali dicetuskan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode kedua pada 20 Oktober 2019.
Pemerintah secara kilat menyusun RUU Cipta Kerja dan rampung pada 12 Februari 2020. RUU Cipta Kerja mulai dibahas oleh DPR pada 2 April 2020.
Walau mendapat berbagai penolakan dari kalangan buruh, mahasiswa dan masyarakat sipil karena dianggap mengandung banyak pasal yang berpotensi merugikan publik, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap berlangsung dan disahkan sebagai UU pada 5 Oktober 2020.
Mulai dari serikat buruh danpekerja, karyawan, akademisi, hingga pelajar dan mahasiswa menggugat UU itu ke MK. Pada sidang 25 November 2021, MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat.
MK menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak, dengan kata lain UU ini mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik. MK lalu memberi waktu untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan.
Setahun pasca putusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 dan akhirnya disahkan DPR menjadi undang-undang.