Legislator Sayangkan Masalah Pembayaran Selisih Harga pada Program Migor Satu Harga

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. (Foto: Oji/nr)

Jakarta, serayunusantara.com – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyayangkan pembayaran selisih harga Minyak Goreng (Migor) satu harga itu menyisakan masalah. Ia khawatir masalah dapat meluas sehingga mengganggu ketersediaan migor di pasaran.

“Saya melihat sengkarut pembayaran selisih harga migor ini cerminan ketidakcermatan pemerintah mengelola sebuah kebijakan. Kebijakan pemerintah sering tidak cermat, sembrono, grusa-grusu dan plin-plan. Hal ini terjadi bukan hanya pada komoditas minyak goreng sawit, tetapi juga batu bara, nikel, tembaga, timah, dan lain-lain,” ujar Mulyanto dalam siaran persnya, Minggu (16/4/2023).

Sebelumnya Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengirim surat tentang tagihan utang pembayaran selisih harga minyak goreng (migor) atau rafaksi dalam program satu harga pada 2022 lalu.

Terkait hal itu, Politisi dari Fraksi PKS ini menegaskan pemerintah harus menyikapi permintaan Aprindo tersebut sesuai ketentuan yang ada. Pemerintah harus bertanggung jawab atas konsekuensi kebijakan yang dibuatnya. Pasalnya ia, khawatir jika hal tersebut dapat meluas dan mengganggu ketersediaan Minyak Goreng di Pasaran.

“Apa yang disampaikan oleh Aprindo itu merupakan masalah yang serius. Mereka sudah berperan turut membantu menyukseskan program satu harga penjualan migor yang diluncurkan pemerintah tahun 2022. Jadi sebisa mungkin pemerintah menyikapi masalah itu secara konsekuen. Menteri perdagangan jangan buang badan menghadapi masalah itu. Dia harus tampil di depan mencarikan solusi atas keluhan yang disampaikan Aprindo. Jangan malah mencari-cari alasan untuk menghindar dari tanggung jawab,” paparnya.

Baca Juga: Sugeng Riadi dari PKS Dilantik Jadi PAW DPRD Kabupaten Blitar 2019-2024

Lebih lanjut Mul, sapaan akrabnya, Indonesia sebagai negara besar, dengan potensi sumber daya alam yang juga luar biasa besar, membutuhkan kebijakan tata kelola negara yang cermat (evidence based policy), yang memperhitungkan aspirasi masyarakat dalam berbagai levelnya.

Menurutnya, Ibarat mobil, Indonesia itu truk gandeng, bukan bajaj. Kalau truk gandeng akan belok, dari kaca spion harus dilihat dengan cermat ujung gerbong gandengannya. Sehingga tidak membentur kendaraan lain atau bangunan di sekitar. Beda dengan bajaj, bisa belok kapan saja dan di mana saja.

“Artinya pemimpin Indonesia itu perlu SIM truk, bukan SIM Bajaj, agar Indonesia dikelola secara good governance bukan sradak-sruduk, tabrak sana tabrak sini karena bersifat sporadis,” tukas Mul. (ayu/aha)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *